Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkaya khazanah budaya semata.
Mohon maaf kepada tetua adat jika ada yang kurang berkenan dalam
penyampaiannya. Tulisan ini kami kutip dari salah satu sumber yang
tertera pada bagian akhir artikel ini.
Bicara mengenai Komering, akan tak terpisahkan dari suku Lampung
karena ia merupakan bagian etnis Lampung seperti halnya Ranau, Cikoneng,
yang terletak di luar batas administratif Provinsi Lampung.
Tak terelakkan lagi, banyak orang komering yang keluar dari daerah
asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan
baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka
umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga
Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga
Mayang.
Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997):
“Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang komering
di tahun 1800 M. pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai
lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada
tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu
begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh kebuayan Abung.”
Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung pepadun dan tanah yang
sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan
daerah Sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa
nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering.
Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dsb. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat Kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara, mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dsb. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat Kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara, mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Perpindahan berikutnya, yang dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya
Minanga. Menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung,
Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung
Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.
Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih),
menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek Moyang mereka
berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang
mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis
temui kebanyakan usia muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang
di Palembang "nyapah" (terendam).
Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga. Karena kampung ini yang
paling sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering.
Negeri Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan
Komaruzaman (70) (pensiunan BPN).
Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.
Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.
Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam
menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay
Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan,
marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering.
Bahasa Komering oleh sementara pengamat dikatakan banyak kesamaannya dengan bahasa Batak. Juga logatnya.
Ada cerita rakyat yang mengatakan Batak dan Komering berasal dari dua bersaudara. Antara kedua suku ini sering terdapat senda gurau untuk menyatakan masing-masing nenek moyang merekalah yang tertua (dalam Adat Perkawinan Komering Ulu, Hatta/Arlan Ismail).
Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a". Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek Buay Madang.
Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay Madang-Cempaka-Belitang tidak.
Ada cerita rakyat yang mengatakan Batak dan Komering berasal dari dua bersaudara. Antara kedua suku ini sering terdapat senda gurau untuk menyatakan masing-masing nenek moyang merekalah yang tertua (dalam Adat Perkawinan Komering Ulu, Hatta/Arlan Ismail).
Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a". Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek Buay Madang.
Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay Madang-Cempaka-Belitang tidak.
Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan
tetapi, orang Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak.
Tulisan ini dipakai orang tua pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini
hampir tidak pernah dipakai lagi dan generasi muda tidak seberapa
mengenalnya.
Adapun marga yang terdapat di Komering Ulu, di antaranya marga
Semendawai suku I/II/III dengan wilayah Minanga, Betung, Gunung Batu,
Cempaka, dan sekitarnya. Marga Madang Suku I/II, Marga Buay Pemuka
Bangsa Raja dengan wilayahnya Rasuan, Kotanegara, Muncak Kabau, Marga
Belitang I/II/III dengan wilayah Gumawang, Sumber Jaya, Kota Sari, Marga
Buay Pemaca, Marga Lengkayap.
Pakaian Adat Suku Komering
Marga Kiti dengan wilayah Simpang Tanjung, Gedung Pakuan, Marga Paku Sengkunyit. Marga Bunga Mayang. Marga Buay Pemuka Peliung dengan wilayah Martapura, Kambang Mas, Banton. Marga-marga tersebut kemungkinan tidak sesuai lagi dengan daerahnya karena adanya pemekaran wilayah.
Pakaian Adat Suku Komering
Marga Kiti dengan wilayah Simpang Tanjung, Gedung Pakuan, Marga Paku Sengkunyit. Marga Bunga Mayang. Marga Buay Pemuka Peliung dengan wilayah Martapura, Kambang Mas, Banton. Marga-marga tersebut kemungkinan tidak sesuai lagi dengan daerahnya karena adanya pemekaran wilayah.
Sementara itu, di daerah ilir, bahasa Komering dipakai di daerah
Tanjung Lubuk, Pulau Gemantung, dan sebagainya. Sedangkan daerah Kayu
Agung merupakan sebuah marga di Kecamatan Kayu Agung. Di daerah Kayu
Agung terdapat dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung (BKA) dan bahasa Ogan
dialek /e/. Ada variasi dialek dalam BKA. Variasi dialek yang terdapat
di dusun marga Kayu Agung dianggap sebagai variasi asli, yang merupakan
suatu dialek mirip dengan bahasa Komering.
Adapun asal kepuhyangan/buay/marga yang ada di daerah Komering, seperti yang diuraikan dalam Adat Perkawinan Komering Ulu oleh Hatta/Arlan, Ismail. 2002: Riwayat etnis komering yang menyebar mendirikan tujuh kepuhyangan di sepanjang aliran sungai yang kini dinamakan Komering, ringkasnya sebagai berikut.
Adapun asal kepuhyangan/buay/marga yang ada di daerah Komering, seperti yang diuraikan dalam Adat Perkawinan Komering Ulu oleh Hatta/Arlan, Ismail. 2002: Riwayat etnis komering yang menyebar mendirikan tujuh kepuhyangan di sepanjang aliran sungai yang kini dinamakan Komering, ringkasnya sebagai berikut.
Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran
tinggi Gunung Pesagi, Lampung Barat menyusuri sungai dengan segala cara
seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering
menuju muara. Menyusuri/mengikuti dalam dialek komering lama adalah
samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway
dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai.
Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian
berpencar. Mencari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga
kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak
membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di
bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu
dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu
Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu
teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini
kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun
Sakala Bhra ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya
mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu
padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan
Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut
Madang. Yang kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama
yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.
Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang
konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan
pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan
ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan
kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.
Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh
Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati
Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau
keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan
pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari,
inilah cikal bakal Lampung Sungkai).
Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka
pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan
kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini
menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang,
Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau
kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan
nama Bhu-Way (buway).
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.
Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan
hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan)
serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai
(samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama
dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung
tanjung (Gunung Batu).
Yang patut kita tiru akan rasa solidaritas yang tinggi di antara
mereka mengingat akan asal-usul mereka berasal dari kelompok yang sama.
Semoga tulisan ini bermanfaat dalam melengkapi tentang marga etnis
komering seperti yang telah dilakukan Unila dalam memetakan marga serta
wilayah suku Lampung.
* Sumber: Mohd Isneini, Dosen Jurusan Sipil Unila, Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2007
http://ulun.lampunggech.com/2007/12/bingkai-perjalanan-komering-di-lampung_601.html
disadur dari: http://achmadyani.wordpress.com/category/budaya-dan-etnis-komering/
alhamdulillah saudara,kita sama sama mengakuinya
BalasHapusyaaaa, lampung dan komering bersaudara, kesamaan bahasa dan adat bukti nyata, hanya yang membuat terasa jauh adalah pemerintahan administratif yang terpisahm satu di Lampung satu di Sumsel....
BalasHapushe he he tapi kan masih SUMBAGSEL KOK,gimana dengan yang di cikoneng pakpekon yang di provinsi banten kan lebih jauh.tapi yang pastinya bikin jauh tu sebab ketidak pahaman dan fanatisme kedaerahan sbb batas batas teritorial saat inI.padahal jika sedikit saja mengekplorasi kita akan paham tentang kaitan etnis lampung dengan sub suku sub sukunya.sbg referensi untuk para pembaca saya rekomendasikan:protomalayans.blogspot.com,ulunlampung.blogspot.com,greatlampungblogspot.com dn banyak lagi lainnya
BalasHapusSedikit referensi ane kasih ke agan2
BalasHapushttps://navigasiinfo.blogspot.com/2020/08/sejarah-sungkai-bunga-mayang-versi-buay.html