Sabtu, 15 Desember 2012

MINANGA KOMERING Asal Kerajaan SRIWIJAYA


Minanga komering, Ogan komering ulu timur. di perkirakan Asal Kerajaan SRIWIJAYA


Nama Minanga ( Komering Ulu Sumatera Selatan ) sebagai nama tempat sudah ada semenjak sebelum Van Rokel membaca prasasti kedukan bukit tahun 1924. Oleh karena itu nama Minanga di Komering Ulu itu bukanlah mencontoh kebesaran nama dalam prasasti kedukan bukit.
Ini terlihat dalam suatu piagam perjanjian tahun 1629 dengan mamakai tulisan Arab-Melayu oleh kesultanan Palembang yang pada waktu itu di berkuasa Sedaing Kenayan mengenai tapal batas Marga Minanga. Piagam tersebut masih tersimpan sebagai dokumen Marga Semendawai Suku III.
Minanga yang kita identifikasikan sebagai ibukota Sriwijaya sekarang adalah merupakan nama dua buah desa yaitu desa Minanga Tengah dan desa Minanga Besar .
Desa Minanga sekarang terletak di daerah rawa-rawa dataran rendah. Daerah yang agak tinggi permukaannya mengelilingi desa-desa tersebut yaitu di sebelah hulu sungai disekitar daerah Betung (dahulu bernama Kedaton) di sebelah barat ada dataran tinggi yang membentang sampai ke batas Kedaton dan sungai Ogan. Jadi bahwa kawasan Minanga berada di antara dua daerah yang bernama Kedaton yang berada di pedalaman Sumatra Selatan di pinggir Sungai Komring. Ada yang menarik tentang nama-nama tempat sebagai petanda monumen sejarah yang terdapat di Desa Minanga Komring Ulu dengan menamai kampungnya dengan nama-nama yang memberi kesan seolah-olah tersebut ada bekas pusat suatu pemerintahan antara lain :
  1. Kampung Ratu — Menggambarkan komplek Perumahan para Raja-raja 
  2. Kampung Kadalom — menggambarkan adanya kompleks perkampungan para abdi dalam. 
  3. Kampung Balak — berasal dari kata Bala atau Laskar kedaton 
  4. Kampung Binatur — berasal dari kata Batur yang berarti pelayan keraton 
  5. Pasar Malaka — yang sekarang merupakan ladang penduduk yang di yakini oleh penduduk setempat dahulunya merupakan tempat orang memperdagangkan barang dagangan dari Malaka.
Nama nama tersebut sudah ada sama tuanya dengn nama Minanga komring ulu yang sudah ada sejak sebelum tahun 1629 Masehi
Kemudian di kawasan Minanga ini banyak sekali kita jumpai Makam Kuno ( makam keramat ) lebih kurang terdapat 15 makam kuno sepanjang uluan sungai komring yang di kenal dan di percayai oleh penduduk setempat merupakan makam Raja-Raja maupun panglima perang jaman dulu yang menjadi keramat bagi desa desa sekitar.
Antara lain :
  • Pu-Hyang ( Puyang ) Ratu Kadi yang berarti Pangeran Mahkota 
  • Pu-Hyang ( Puyang ) Naga Brinsang yang berarti Raja Naga Ajaib. 
  • Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Alam Basa Berarti Raja Alam berasal dari Dewa. 
  • Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Randah ( Randuh ) yang berarti Raja yang dapat berpndah- pindah tempat. 
  • Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Ranggah yang berarti raja banyak Cahang.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Marabahu ( diucapkan Marbau ) yang berarti Raja yang berkali-kali mati dan hidup kembali.
- Tan Junjungan ( Puyang Tan Junjungan ) yang berarti panglima yang penuh sanjungan.
- Tan Adi ( Puyang Tan Adi ) yang berarti Panglima Utama
- Tan Aji ( Puyang Tan Aji ) yang berarti Panglima Raja
- Tan Mandiga ( Puyang Tan Mandiga ) yang berarti Panglima yang ampuh.
- Tan Salela ( Puyang Tan Salela ) yang berarti Panglima yang menarik hati
- Tan Robkum ( Puyang Tan Robkum ) yang berarti Panglima yang tahan rendam dalam air.
- Tan Hyang Agung ( Puyang Tihang Agung ) yang berarti Panglima dewa Agung
- Tan Minak Batara ( Puyang Minak Batara ) yang berarti panglima turunan Raja
- Tan Mahadum ( Puyang Mahadum ) yang berarti panglima penyelamat.
Jarak Minanga dengan Pantai timur sekarang jika di tarik lurus horizontal lebih dari 100 Km. Karena Minanga berada di pinggir sungai yang sekarang di kenal dengan sungai Komring maka penduduknya di sebut orang Komring. W.V. Van Royen dalam bukunya “ De Palembang Sche Marga ( 1927 ) “ tidak menyebut orang komring tetapi “ Jelma Daya “ . Nama sungai Komring sendiri diambil dari nama seorang yang berasal dari India yang bernama Komering Singh ,makam nya terdapat di sebelah hulu desa Muara Dua , sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya mulai dari Muara Selabung yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di sebut sungai Komring .
Menurut sejarah Kabupaten Ogan Komering Ulu ( 1979 ) Jelma Daya kelompok pertama yang turun dari gunung Seminung melalui Danau Ranau kemudian seterusnya menelusuri sungai Komring sampai di Gunung Batu adalah kelompok Samandaway. Samandaway berasal dari kata Samanda Di Way yang berarti mengikuti aliran sungai.
Pada tahun 1974 telah ditemukan sebuah arca Budha yang terbuat dari Perunggu ukuran tinggi ±35 cm, tebal 11 cm di temukan 15 km dari desa Minanga yang di temukan tidak sengaja oleh petani setempat yang kemudian menjadi barang koleksi pribadi mantan bupati OKU pada saat itu.
Minanga hanyalah monumen sejarah dalam bentuk nama tempat, tapi kawasan Minanga purba adalah begitu luas yaitu paling sedikit sebesar Marga Semendawai Suku III dan di sebelah barat berbatasan dengan daerah Kedaton ( Ogan Ulu Sumatera Selatan ).
Karena langka nya peninggalan Sriwijaya dalam bentuk benda kepurbakalaan di manapun termasuk di daerah Minanga ( Komring Ulu sumatera selatan ) maka alternative lain yang harus di cari identitasnya ke dalam nilai-nilai Budaya dimana salah satu aspek budaya yang penting dan masih menonjol adalah Bahasa . : “ Bahasa adalah alat utama Kebudayaan. Tanpa Bahasa kebudayaan tidak mungkin ada. Kebudayaan tercermin dalam Bahasanya. ( S Gazalba 1966 : 102 ) “
Seperti di utarakan di muka bahwa rumpun Seminung mempunyai bahasa dan tulisan sendiri. Orang Rumpun Seminung tergolong suku Malayu Kuno ( Proto Malayan Tribes ), bahasanya banyak terdiri dari bahasa Malayu Kuno , bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta.
Bahasa Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, dan prasasti lainnya dalam periode Shi-Li-Fo-Shih ( 670 s.d 742 Masehi ) adalah bahasa Malayu Kuno dan kausa katanya banyak yang tertinggal dalam bahasa Rumpun Seminung ( Komering, Daya,Ranau, Lampung ).
Sebagai perbandingan kita mengambil contoh adalah prasasti Telaga Batu : menurut bacaan dan terjemahan Prof.Dr.J.G. de Casparis dalam bukunya “ Selted inscription from the 7 th to the 9 th century A.D (1956)” . Prasasti itu terdiri dari 28 baris dengan jumlah ±709 kata-kata yang sudah terbaca, dari kata-kata tersebut terbentuk ±311 bentukan kata yang tidak kurang dari 50 kata yang terbukti di pakai dalam bahasa Komering (Rumpun Seminung). Antara lain sebagai berikut :
Bahasa Sriwijaya Bahasa Komering Indonesia  (Prasasti Melayu Kuno)
- Awai - Awai - Memanggil
- Dangan - Jongan - Cara
- Hulun - Hulun - Orang asing
- Inan - Inan - Biarkan
- Katahuman - Katahuman - Tertangkap tangan
- Labhamamu - La(m)bahanmu - Tempat tinggalmu
- Mulam - Mulang - Kembali
- Mancaru - Macuaru - Mangacau/menghianat
- Muha - Muha - Angap ringan / boros
- Muah - Muah - Lagi / Masih ada
- Marpadah/Padah - Mapadah/Padah-Tanggulangi / Andalan
- Pira - Pira - Berapa
- Puhawam - Puhawang - Pawang / Peramal
- Ri - RI - Bersama
- Sarambat - Sarambat - Setangkai
- Talu - Talu - Kalah / tunduk
- Tapik/Manapik - Tapik/Manapik - Menghindar/elak/serang
- Tuhan - Tuhan - Milik
Tidak teridentifikasinya Minanga Komring Ulu sebagai ibukota Sriwijaya selama ini di karenakan :
1. Para ahli sejarah tidak mengetahui bahwa ada Minanga di daerah Komering Ulu Sumatera Selatan yang berada di Muara Sungai di tepi Pantai pada waktu itu, sehingga orang mencari Minanga di luar Sumatra Selatan di dasarkan kepada semata-mata kesamaan bunyi dan penggantian huruf.
2. Penelitian Geomorfologi semata-mata di tujukan hanyalah penelitian kedudukan Jambi dan Palembang apakah berada di tepi pantai atau tidak pada jaman Sriwijaya
3. Minanga dalam Prasasti kedukan bukit di satukan dengan kata Tamvan sebagai Toponim (nama tempat ), Minanga yang tersebut dalam prasasti kedukan bukit di tafsirkan sebagai daerah yang ditundukkan oleh sriwijaya hanya semata-mata untuk memperkuat Palembang sebagai ibukota Kerajaan..
4. Para ahli sejarah hanya mau mengakui sesuatu atau mengarahkan penelitian pada suatu tempat kalau sudah ada bukti arkeologis di ketemukan lebih dahulu, sedangkan sumber sejarah bukan terletak kepada benda arkeologis semata, tetapi juga dalam bentuk ciri-ciri budaya, bahasa dan lain-lain peninggalan kebudayaan masa lampau yang dapat di jadikan petunjuk awal.
5. Karena tidak di ketahui bahwa Minanga ada di Komering Ulu Sumatera Selatan maka ia tersisihkan dari obyek penelitian sehingga tidak di temukan benda-benda yang bersifat arkeologis. Benda-benda arkeologis itu hanya di tunggu atau di harapkan untuk di ketemukan secara kebetulan seperti yang kita alami sekarang. 

Berikut merupakan Arca yang di temukan di MINANGA KOMERING OKU, secara tidak sengaja oleh warga setempat.
sayangnya letak dari MINANGA KOMERING berada di pedalaman di pesisir sungai komering, sehingga para arkeolog dan ahli sejarah tidak mengetahui keberadaan minanga komering. sehingga luput dari obyek penelitian.

Sumber \: By Agung Arlan 

Jumat, 30 November 2012

ARAK ARAKAN TRADISI PERNIKAHAN SUKU KOMERING KHUSUSNYA KOMERING BETUNG DI DESA PETANGGAN







berikut merupakan gambar tradisi arak-arakan adat pernikahan suku komering dimana pada saat arak-arakan diringi dengan tabuhan rebana dan solawat, serta diiringi pula dengan tradisi pencak silat.






BEBERAPA UPACARA ADAT PERNIKAHAN SUKU KOMERING KHUSUSNYA KOMERING BETUNG


TRADISI PANJAT PINANG memperebutkan hadiah yang ada yang telah disediakan oleh tuan rumah


Tampak masyarakat sekitar sedang memperebutkan hadiah



Tarian tanggai yang merupakan tarian menjamu tamu di Propinsi Sumatera Selatan


PENCANGAN GELARAN YANG DIBERIKAN OLEH KELUARGA BESAR MEMPELAI WANITA PADA MEMPELAI PRIA, DAN GELAR UNTUK MEMPELAI WANITA DIBERIKAN OLEH KELUARGA BESAR MEMPELAI PRIA. DIMANA GELAR TERSEBUT AKAN DIPAKAI UNTUK ADOKAN/GELARAN/PANGGILAN SEHARI HARI DI MASYARAKAT KHUSUSNYA TEMAN SEJAWAT KEDUA MEMPELAI



 ADAT KOMERING KITA LESTARIKAN
        


PERNIKAHAN ADAT KOMERING DAN SUMATERA SELATAN TRIYANA INDAH PUTRI, Spd DAN TRIYOGA NOVANDRI Spd










\



Suasana Pernikahan adat komering dan Sumatera selatan

TIMBANGAN TRADISI ADAT PERNIKAHAN KOMERING DI DESA PETANGGAN, BELITANG MULYA, OKU TIMUR, SUMATERA SELATAN




Timbangan adalah salah satu adat pernikahan SUKU KOMERING, berikut merupakan foto pernikahan yang terjadi di Desa Petanggan, kecamatan Belitang Mulya Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur), Propinsi Sumatera Selatan. Adapun tujuan dari timbangan adalah memohon doa dan rahmat kepada Alloh Swt. agar pihak keluarga dari kedua mempelai wanita dan pria yang duduk di korsi timbangan mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan Dunia akherat, kursi pada timbangan terdapat dua yang berlawanan, kursi pertama untuk keluarga yang akan didoakan dan kursi kedua diletakkan Kepala sapi yang  telah di sembelih dengan cara islam sebagai simbol kemakmuran


KOLPAH PIWARI KITA JAGA ADAT PUSAKO NINIK MUYANG..

TRADISI PENCAK SILAT ADAT PERNIKAHAN KOMERING BETUNG DI DESA PETANGGAN

 berikut atraksi pencak silat yang dipertontonkan pada khalayak ramai pada saat upacara pernikahan ADAT KOMERING BETUNG
 Tampat kedua pesilat yang merupakan perwakilan dari pihak besan sedang berusaha mengalahkan pesilat tuan rumah agar dapat menyunting mempelai wanita
















Tradisi ini adalah bagian dari tradisi ADAT PERNIKAHAN suku KOMERING yang terjadi di Desa PETANGGAN, Kecamatan BELITANG MULYA, KABUPATEN Ogan Komering Ulu Timur. Dimana di desa tersebut terdapat banyak masyarakatnya yang merupakan keturunan Suku KOMERING, Khususnya KOMERING BETUNG.

                                                     ADAT PUSAKO KITA JAGA......

Selasa, 27 November 2012

Asliku Komering BETUNG

Sikandua dilahirko di Gumawang Belitang, sikandua balak di Desa Petanggan, Kecamatan Belitang Mulya Kabupaten OKU Timur. Asli jolma tuha ku Jak kumoring Botung, Darah Kumoring, basa Kumoring, adat  kumoring. Walau ganta mak tinggal di Botung totop ingok asal muyang ku.



Salam Marga Semendawai :)
Kaunyin jadi Sai Kumoring jadi Jayo...

Menelusuri Arsitektur Rumah Suku Komering


Filed under: Budaya dan Etnis Komering — Achmad Yani @ 2:07 pm
oleh : Erwan Suryanegara bin H Asnawi*
KOMERING merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung.
Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Selain itu, bila dilihat dari karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal memiliki temperamen yang tinggi dan keras.
Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku Batak.
Berdasarkan temuan dan analisa sejarah, Dusun Minanga Tuha, di daerah marga Semendawai Suku I, atau dusun keenam dari Dusun Gunung Jati diperkirakan merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya bagian awal. Sedangkan Palembang diyakini sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian tengah, dan Jambi sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian akhir. Kala itu, Minanga Tuha, sebagai kota pelabuhan, atau tempat berlangsungnya aktivitas bongkar dan muat barang serta bersandarnya kapal-kapal Sriwijaya maupun kapal-kapal asing yang memiliki baik hubungan dagang, politik, budaya, maupun religi dengan Sriwijaya.
Sejak abad pertengahan, suku Komering, sama halnya dengan rumpun Melayu lainnya, menerima Islam sebagai sebuah agama dan kepercayaan. Kedatangan Islam itu melahirkan mitos. Mitosnya mengenai seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tandipulau, yang menjadi tamu di daerah marga Semendawai Suku III. Ia datang menggunakan perahu menelusuri Sungai Komering. Tandipulau berlabuh dan menetap di daerah marga Semendawai Suku III, tepatnya di Dusun Kuripan. Keturunan Tandipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang dusun Kuripan, yang disebut Dusun Gunung Jati. Selanjutnya, marga Semendawai disebut keturunan Tandipulau dari Dusun Kuripan.
Tandipulau dalam bahasa Komering berarti ‘tuan di pulau’. Makamnya, yang terletak di Dusun Kuripan, hingga kini masih terpelihara. Masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, sering berziarah kubur ke makam tersebut.
Rumah tradisi Komering
Salah satu tanda kebudayaan Komering dari masa lalu, yang hingga kini tetap terjaga adalah rumah. Pada masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, memiliki atau mengenal dua jenis rumah tempat tinggal yang bersifat tradisional, yakni rumah ulu dan rumah gudang.
Berdasarkan struktur bangunan, antara rumah ulu dan rumah gudang pada prinsipnya sama, tapi pembangunan rumah gudang umumnya cenderung mengalami beberapa modifikasi, dan tidak patuh lagi seperti rumah-rumah ulu, terutama untuk arah hadap seperti hulu (utara), liba(selatan), darak (barat), dan laok (timur). Perbedaan lainnya, pada rumah gudang, selalu dibuat atau ada ventilasi yang posisinya tepat berada di atas setiap pintu dan jendela, sedangkan pada rumah ulu tidak mengenal ventilasi udara.
Baik rumah gudang maupun rumah ulu merupakan jenis rumah panggung atau rumah yang memiliki tiang penyangga. Bahan utama pembuatan rumah gudang dan ulu adalah kayu atau papan.
Lantaran rumah gudang Komering lebih muda jika dibandingkan dengan rumah ulu, rumah ini sudah mengenal dan menerapkan kombinasi antara bahan kayu dan paku, kaca, cat, porselen atau marmer, genteng, dan semen. Misalnya banyak tangga atau disebut ijan mukak rumah gudang yang terbuat dari semen berlapis keramik, atau daun pintu dan jendelanya sudah dikombinasikan dengan kaca. Bahkan, kecenderungan akhir-akhir ini, rumah gudang sudah menggunakan tiang penyangga teknik cor beton dan atau batu bata, yang sebelumnya dari gelondong. Dan, di antara tiang rumah umumnya sudah pula diberi dinding semi permanen atau permanen, kemudian dijadikan tempat tinggal atau lambahan bah (rumah bawah). Mengingat bahan kayu yang saat ini semakin langka dan mahal, tampaknya masyarakat Komering lebih banyak memilih atau membangun jenis rumah gudang.
Rumah ulu sepenuhnya menggunakan bahan kayu atau papan. Tiang penyangga menggunakan gelondongan, lalu tangga, dinding, pintu, dan jendela menggunakan papan. Atap rumah dibuat dari daun enau dengan teknik rangkai-tumpuk. Tapi mengingat daya tahan dan gampang terbakar, sekarang atap daun enau ini diganti atap genteng.
Sambungan kayu pada rumah ulu tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pasak kayu atau bambu, termasuk untuk engsel pintu, dan jendelanya juga masih menggunakan teknik engsel pasak. Mengingat bahan kayu yang saat ini mahal dan langka, sejak tiga dasawarsa terakhir, masyarakat Komering mulai jarang membangun rumah ulu.
Berdasarkan struktur bangunannya, rumah ulu terbagi atas tiga bagian, yakni bagian depan (garang), rumah bagian tengah atau utama (ambin, haluan, dan kakudan) serta rumah bagian belakang (pawon). Bagi masyarakat Komering, rumah tengah atau utama bersifat sakral, sedangkan garang atau pawon bersifat profan sehingga pada pintu depan (rawang balak) dari garang ke haluan, dan juga pada pintu belakang (rawang pawon) dari kakudan ke pawon, konstruksi kusen pintunya dibuat tinggi atau ada langkahan (ngalangkah). Rumah tengah atau utama dibagi menjadi tiga ruang, yaitu ambin atau kamar tidur, haluan, dan kakudan.
Berdasarkan struktur lantai pada rumah ulu, dapat diketahui setiap ruang memiliki hierarkis yang ditandai peninggian atau merendahkan lantai ruangannya.
Ambin memiliki kedudukan yang tertingggi (dunia atas), selanjutnya haluan dan kakudan (dunia tengah) serta garang dan pawon (dunia bawah). Untuk lantai haluan sama tinggi dengan lantai kakudan , dan di antara keduanya tidak terdapat dinding.
Berdasarkan hierarki rumah ulu, haluan memiliki tingkatan yang sama dengan kakudan, namun keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Haluan (perempuan) dan kakudan (laki-laki). Sebagai penanda bahwa adanya perbedaan fungsi antara haluan dan kakudan, di antara lantai haluan dan kakudan diberi kayu balok panjang yang posisinya melintang, dan di atasnya ada sangai (tiang), sebagai perantara haluan dengan kakudan.
Sedangkan untuk lantai garang dan pawon (dunia bawah) posisinya paling rendah baik dari lantai ambin, haluan, maupun kakudan. Haluan posisinya berada di tengah-tengah rumah ulu, diapit dari arah sebelah laok-darak (barat-timur) dan hulu-liba/hilir (utara-selatan), yakni oleh ambin-kakudan dan garang-pawon.
Ambin (kamar tidur) memiliki kedudukan tertinggi dan suci, sejalan dengan pandangan masyarakat Komering bahwa keluarga harus dijunjung tinggi kesucian dan kehormatannya. Karenanya, dalam struktur rumah ulu, posisi ambin di sebelah laok (barat=arah salat/kiblat).
Haluan adalah perempuan, sedangkan kakudan adalah laki-laki, itulah sebabnya balai pari (lumbung padi = perempuan) posisinya tepat di bawah haluan, dan kandang hewan berada di bawah kakudan (tanduk =laki-laki).
Dalam sebuah acara adat yang disebut Ningkuk, haluan hanya diperuntukkan bagi perempuan dan kakudan tempat laki-laki. Jika ada pemuda yang bertamu ke rumah seorang gadis, si pemuda hanya boleh duduk di kakudan, dan si gadisnya harus berada di haluan. Untuk tamu yang baru dikenal biasanya akan dijamu di garang, sedangkan untuk tamu-tamu yang sudah dikenal baik oleh tuan rumah, biasanya akan dipersilakan masuk dengan melangkah rawang balak (hubungan darah dan mentalitas kelompok atau keluarga).
Dalam upacara adat melamar, ketika pihak keluarga calon besan mempelai laki-laki baru datang, terlebih dahulu mereka akan ditempatkan di garang, setelah menjalani beberapa prosesi, barulah rombongan dapat dipersilakan masuk ke rumah tengah atau utama, dalam hal ini haluan untuk perempuan dan kakudan bagi laki-laki. Demikian pula pada saat akan melangsungkan akad nikah, posisi duduk calon mempelai laki-laki harus di kakudan, sedangkan calon mempelai wanita di haluan. Setelah selesai akad nikah, baru kedua mempelai dipersandingkan di pelaminan yang berada di ruang haluan, posisi atau arah hadap pelaminan tempat kedua mempelai bersanding biasanya ke utara atau hulu.

* Erwan Suryanegara bin H Asnawi, perupa
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 23 Oktober 2007

kalau orang Komering khususnya yang tua-tua ditanya darimana asal-usul mereka, maka jawabannya dari daerah Segara Brak/Skala Brak yang ada di Lampung Barat, dan seluruh orang Lampung pun percaya mereka berasal dari sana. Orang Kayu Agung sendiri berasal dari Lampung Suku Abung Buay Kunang dan orang Muncak Kabau berasal dari Negeri Besar Way Kanan Buay Pemuka Bangsa Raja, orang Ranau asalnya dari Liwa dan lain-lain nya.


disadur dari : http://achmadyani.wordpress.com/category/budaya-dan-etnis-komering/

LOGO KERUKUNAN KELUARGA KOMERING BETUNG (KKKB) LAMPUNG


Berdirinya Tunas Komering Betung


1. Latar Belakang

Berawal pada Minggu, 25 Februari 2007, pukul 20.30. Tiga orang, Hasan Daud, Pirus Andi, dan Muslim Thaib, berkumpul di kediaman Hasan Daud. Bersilaturahmi, ngobrol-ngobrol-ngobrol mengenai pascabanjir se Jabodetabek, tentang kehidupan Jakarta dan sekitarnya yang selama ini kami alami. Banyak kejadian-kejadian menimpa sanak famili yang tanpa kita ketahui, seperti musibah kematian. Ini dikarenakan kurangnya informasi dan silaturahmi.

Oleh karena itu, puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-NYA kepada kita. Pada 2 Maret 2007, sebanyak 33 orang berkumpul di kediaman Hasan Daud. Mereka sepakat untuk membentuk perkumpulan Komering Betung. Pada saat itu pula, mereka mengadakan pemungutan suara (voting) untuk membentuk kepengurusan.

Adapun fungsi dan makna dari perkumpulan yang sudah dihimpun ini adalah untuk lebih mempererat tali persaudaraan dan silaturahmi antar-masyarakat Komering Betung di perantauan, khususnya di Jadebotabek dan sekitarnya. Berdasarkan analisa yang ada, sekitar 75% dari masyarakat Komering Betung yang ada di perantauan masih dalam perjuangan dan tentunya masih banyak masalah-masalah atau hal-hal yang menimpa saudara-saudara kita. Untuk itu, kita perlu membantu, baik segi materi maupun tenaga sehingga dapat mengurangi beban saudara-saudara kita yang mungkin terkena musibah.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka terbentuklah organisasi yang mewadahi masyarakat Komering Betung khususnya di wilayah Jadebotabek dan sekitarnya.

Adapun susunan kepengurusan yang telah dibentuk berdasarkan hasil pemungutan suara adalah sebagai berikut:

Ketua : H Ruslan Saleh
Wakil Ketua : Pirus Andi
Sekretaris : Bastoni
Wakil Sekretaris : Achyan Baskara
Bendahara : Hasan Daud
Wakil Bendahara : Muslim Thaib

Humas
Ketua : Feriyanto
Wakil Ketua : John Kennedy
Sektor Cipondoh : H Iskandar
Sektor Kotabumi : Irawan Saleh/Leo Yunandar
Sektor Cileduk : Malhan Saleh
Sektor Kebayoran Lama : Basnan
Sektor Jakarta Selatan : Nelson/Perdana Manto
Sektor Jakarta Timur : Ediyanto
Sektor Bintaro : Masduki
Sektor Depok : Leo Yunandar
Sektor Bekasi : Abubakar
Sektor Bogor : Radin Endang
Sektor Bandung : Thamrin Misbah
Sektor Cirebon : Zaidan
Sektor Ciamis : Sudirman

Sedangkan Dewan Penasehat yang telah ditunjuk oleh Ketua Umum antara lain:
1. Danial Thaib
2. Rizagana
3. Irawan Santika
4. Tjekwani Saleh

2. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan serta hakekat perkumpulan ini adalah selain untuk mempererat tali silaturahmi juga untuk mengurangi beban keluarga yang terkena musibah, terutama dalam hal kematian.

Oleh karena itu, berdasarkan hasil musyawarah untuk setiap peserta perkumpulan dikenakan biaya pendaftaran sebesar Rp 50.000 per kepala keluarga, dan iuran bulanan sebesar Rp 2.000 per kepala per bulan. Hasil penumpulan dana tersebut digunakan untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah, dimana setiap anggota yang terkena musibah meninggal dunia, ahli warisnya akan mendapatkan santunan sebesar Rp 1.500.000.

Selanjutnya pada tanggal 7 Maret 2007, rapat kembali diadakan di kediaman ketua umum, yaitu Bapak Ruslan Saleh. Pertemuan itu membahas tentang formulir pendaftaran, kewajiban dan fungsi dari setiap peserta/anggota perkumpulan ini. Pertemuan itu dihadiri oleh para pengurus inti.

Dari pertemuan itu disepakati untuk memperluas wilayah jangkauan tidak hanya di wilayah Jadebotabek, tetapi juga Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Perkumpulan ini diberi nama “TUNAS KOMERING BETUNG” dengan moto “Jadi Sai Kita Raidai”.

Selanjutnya, untuk membahas hal lainnya, maka pertemuan kembali diadakan pada tanggal 11 Maret 2007. Pertemuan digelar di kediaman Bapak Drs Danial Thaib. Dalam pertemuan itu dibahas mengenai sistem pengumpulan dana, dan donatur untuk persiapan memulai kegiatan organisasi dengan niat dan kebersamaan.

Pada tanggal 17 Maret 2007, pertemuan kembali digelar. Kali ini, pertemuan diadakan di kediaman Bpk Feriyanto. Pertemuan itu dalam rangka peluncuran formulir pendaftaran keanggotaan. Dengan ucapan Bismillahirrohmanirrahim, kegiatan Tunas Komering Betung resmi dimulai. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-NYA.



Wassalam,

Hormat Kami


ttd


Bastoni, Sekretaris
Drs H Ruslan Saleh, Ketua


http://tunaskombet.blogspot.com/

HUBUNGAN SUKU KOMERING & LAMPUNG


Filed under: Budaya dan Etnis Komering — Achmad Yani @ 11:58 am
Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkaya khazanah budaya semata. Mohon maaf kepada tetua adat jika ada yang kurang berkenan dalam penyampaiannya. Tulisan ini kami kutip dari salah satu sumber yang tertera pada bagian akhir artikel ini.
Bicara mengenai Komering, akan tak terpisahkan dari suku Lampung karena ia merupakan bagian etnis Lampung seperti halnya Ranau, Cikoneng, yang terletak di luar batas administratif Provinsi Lampung.
Tak terelakkan lagi, banyak orang komering yang keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga Mayang.
Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997): “Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang komering di tahun 1800 M. pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh kebuayan Abung.”
Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah Sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering.
Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dsb. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat Kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara, mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Perpindahan berikutnya, yang dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya Minanga. Menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung, Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.
Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih), menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek Moyang mereka berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis temui kebanyakan usia muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang di Palembang "nyapah" (terendam).
Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga. Karena kampung ini yang paling sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering. Negeri Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan Komaruzaman (70) (pensiunan BPN).
Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.
Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan, marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering.
Bahasa Komering oleh sementara pengamat dikatakan banyak kesamaannya dengan bahasa Batak. Juga logatnya.
Ada cerita rakyat yang mengatakan Batak dan Komering berasal dari dua bersaudara. Antara kedua suku ini sering terdapat senda gurau untuk menyatakan masing-masing nenek moyang merekalah yang tertua (dalam Adat Perkawinan Komering Ulu, Hatta/Arlan Ismail).
Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a". Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek Buay Madang.
Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay Madang-Cempaka-Belitang tidak.
Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan tetapi, orang Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak. Tulisan ini dipakai orang tua pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini hampir tidak pernah dipakai lagi dan generasi muda tidak seberapa mengenalnya.
Adapun marga yang terdapat di Komering Ulu, di antaranya marga Semendawai suku I/II/III dengan wilayah Minanga, Betung, Gunung Batu, Cempaka, dan sekitarnya. Marga Madang Suku I/II, Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dengan wilayahnya Rasuan, Kotanegara, Muncak Kabau, Marga Belitang I/II/III dengan wilayah Gumawang, Sumber Jaya, Kota Sari, Marga Buay Pemaca, Marga Lengkayap.
Pakaian Adat Suku Komering
Marga Kiti dengan wilayah Simpang Tanjung, Gedung Pakuan, Marga Paku Sengkunyit. Marga Bunga Mayang. Marga Buay Pemuka Peliung dengan wilayah Martapura, Kambang Mas, Banton. Marga-marga tersebut kemungkinan tidak sesuai lagi dengan daerahnya karena adanya pemekaran wilayah.
Sementara itu, di daerah ilir, bahasa Komering dipakai di daerah Tanjung Lubuk, Pulau Gemantung, dan sebagainya. Sedangkan daerah Kayu Agung merupakan sebuah marga di Kecamatan Kayu Agung. Di daerah Kayu Agung terdapat dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung (BKA) dan bahasa Ogan dialek /e/. Ada variasi dialek dalam BKA. Variasi dialek yang terdapat di dusun marga Kayu Agung dianggap sebagai variasi asli, yang merupakan suatu dialek mirip dengan bahasa Komering.
Adapun asal kepuhyangan/buay/marga yang ada di daerah Komering, seperti yang diuraikan dalam Adat Perkawinan Komering Ulu oleh Hatta/Arlan, Ismail. 2002: Riwayat etnis komering yang menyebar mendirikan tujuh kepuhyangan di sepanjang aliran sungai yang kini dinamakan Komering, ringkasnya sebagai berikut.
Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran tinggi Gunung Pesagi, Lampung Barat menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri/mengikuti dalam dialek komering lama adalah samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai.
Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mencari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Sakala Bhra ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang. Yang kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.
Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.
Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai).
Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway).
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.
Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu).
Yang patut kita tiru akan rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka mengingat akan asal-usul mereka berasal dari kelompok yang sama. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam melengkapi tentang marga etnis komering seperti yang telah dilakukan Unila dalam memetakan marga serta wilayah suku Lampung.
* Sumber: Mohd Isneini, Dosen Jurusan Sipil Unila, Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2007
http://ulun.lampunggech.com/2007/12/bingkai-perjalanan-komering-di-lampung_601.html

disadur dari: http://achmadyani.wordpress.com/category/budaya-dan-etnis-komering/

Selasa, 13 November 2012

KOMERING BETUNG TRADISI SIBAMBANGAN

Kebiasaaan atau tradisi Sibambangan ini sangat unik. Ada yang menyebutnya sebagai kawin lari, namun sebenarnya istilah ini kurang tepat. Pada dasarnya jika sudah terjadi sebambangan ini, orang tua merestui. Kendati ada sedikit hambatan biasanya adalah soal hubungan kekerabatan, atau soal usia dan kesiapan sepasang kekasih untuk hidup berkeluarga.

Sepasang pemuda dan pemudi yang bertemu pandang dan saling jatuh cinta saat tradisi Ningkuk, bila berlanjut dan saling cocok lalu menjalin asmara. sedangkan orang tua tidak merestui maka mereka akan melakukan si bambangan. Namun pada kebiasaan masyarakat komering apabila anak mereka melakukan sibambangan mereka akan segera merestuinya. Hubungan dan pernikahan yang akan dilakukan dengan diawali proses sibambangan ini harus diresmikan dulu dengan cara adat dan melewati proses yang panjang diantaranya manjau kesalahan dimana calon mempelai pria mendatangi keluarga inti seperti kakek, nenek, mamang, bibik dan keluarga besar mempelai wanita untuk menyatakan permohonan maaf atas tindakannya melarikan mempelai wanita dan memohon restu agar dapat dilangsungkan pernikahan. Selain itu banyak tahapan lainnya yang dilalui.

Sebambangan kadangkala terjadi karena perbedaan faktor social ekonomi antara si bujang dengan si gadisnya, tapi sigadis terlanjur cinta kepada si bujang, dan bersedia ikut sibujang kemanapun di ajak,namun untuk beberapa hal kadang terjadi sibambangan telah melalui restu dan diketahui keluarga mempelai pria, dimana jika keluarga mempelai pria melakukan pinangan sudah pasti ditolak oleh mempelai wanita dikarenakan si mempelai wanita belum selesai sekolahnya ataupun karena masalah sosial dan ekonomi lainnya.
Di era keterbukaan saat ini tradisi ini sudah mulai luntur dan memudar. saat ini sudah jarang terdengar tradisi sibambangan ini. semoga tradisi ini akan selalu diingat dan dikenang oleh keturunan masyarakat komering sebagai khasanah budaya masyarakat komering khususnya KOMERING BETUNG.

KOMERING TRADISI NINGKUK MUDA MUDI


salah satu tradisi masyarakat KOMERING yakni tradisi lama yang barangkali sekarang sudah mulai pudar. Yakni tradisi Ningkuk dikalangan pemuda dan pemudi. Ningkuk ini merupakan salah satu acara pertemuan pemuda pemudi sahabat kedua calon mempelai yang akan naik ke pelaminan dan sarana untuk menyampaikan ungkapan cinta maupun perasaan sayang diantara pemuda dan pemudi komering.

Di satu lokasi yang disediakan terdapat sekelompok pemuda berhadapan dengan sekelompok pemudi. Lalu ada semacam acara saling kirim surat atau pantun. Sambil mengisi waktu, beredar selendang diiringi tarian dan nyanyian. Pada saat musik atau nyanyian berhenti selendang yang diedarkan ikut berhenti, dan ada semacam hukuman menari bersama bagi atau memecahkan balon yang telah diisi tulisan hukuman yang harus dijalani bagi pemuda dan pemudi yang saat itu memegang selendang.

tradisi Ningkuk ini di era tahun 1970-1980-an masih sangat digemari para pemuda dan pemudi. Biasanya tradisi Ningkuk ini dilaksanakan sebelum esoknya diadakan upacara Pernikahan.

Tradisi Ningkuk ini sering kali dapat menimbulkan keributan, apabila teman dekat sigadis merasa cemburu waktu gadisnya banyak yang naksir, oleh karena itu pada waktu acara Ningkuk sering di jaga ketat oleh orang tua, karena zaman dulu rumah panggung, maka acara ningkok di dalam rumah dipantau oleh orang tua dari bawah rumahnya, apabila mulai ada keributan akan segera ke atas dengan mengusir si biang keributan dari tempat Ningkuknya.

banyak pemuda pemudi komering yang mendapatkan jodohnya dari adanya tradisi acara ningkuk tersebut :)

HIRING-HIRING BUDAYA SASTRA LISAN MASYARAKAT KOMERING



Kabupaten OKU Timur terletak di Provinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Martapura, yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.37 Tahun 2003 . Kabupaten yang merupakan pemekaran dari kabupaten Ogan Komering Ulu ini, kini lebih memiliki keleluasaan untuk menggali dan mengembangkan potensi yang ada di daerah tersebut. Salah satu potensi yang ada di daerah ini adalah kehidupan sastra lisan yang beragam bentuk maupun isinya. Sastra lisan yang tersebar di daerah OKU Timur ada yang berbentuk puisi dan prosa. Salah satu sastra lisan yang berbentuk puisi adalah Hiring-hiring atau iring-iring.
Hiring-hiring merupakan pantun bersahut antara muda-mudi di zaman tahun 1960-an pada saat menyambut bulan bulan bara atau bulan Purnama yang jatuh pada tanggal 14 setiap bulan. Selain itu hiring-hiring dapat dituturkan pada saat acara ningkuk malam pengantin (berlangsungnya pesta pernikahan), malam bulan bara, dan nunggal, saat acara bujang gadis yang dipimpin ketua bujang (meranai) dan ketua gadis (muli). Saat ini hiring-hiring digunakan sebgai sumber motivasi untuk pembangunan masyarakat, namun masih saja sarat dengan pesan-pesan budaya nenek moyang bangsa, di antaranya rendah hati, disiplin, rela berkorban demi kepentingan daerah, dan sebagainya.
Hiring-hiring yang dituturkan saat pertunangan maupun pernikahan tentunya memiliki diksi-diksi tempatan yang berbeda. Ada juga hiring-hiring yang bercerita mengenai sejarah. Hal ini tentu saja berguna agar masyarakat khususnya generasi muda paham akan cerita latar belakang sejarah.
Setakat ini, di tengah kemajuan ilmu dan teknologi sudah jarang orang yang dapat dan fasih menuturkan hiring-hiring, dikhawatirkan suatu saat apabila tidak ada upaya untuk mengatasi masalah ini, dikhawatirkan musnahnya sastra lisan hiring-hiring ini, dan bukan mustahil kita akan kehilangan hiring-hiring yang pernah menjadi identitas masyarakat Komering.
Sebetulnya, ada berbagai upaya untuk menumbuhkembangkankan hiring-hiring ini, antara lain melalui pertunjukan atau keramaian rakyat dan festival. Namun langkah yang paling efektif pengajaran hiring-hiring melalui dunia pendikan, seperti kegiatan ekstrakurikuler, seni budaya, maupun muatan local. Mudah-mudahan dengan cara yang demikian hiring-hiring tidak hanya menjadi cerita bagi anak-cucu kita kelak.

Berikut petikan Hiring-hiring:
1. Ram tong-tong ko di rakyat
Bai bakas tuhha ngura
Lapah sai hurik nekat
Ngunut se mak kung mangka
2. Ram diwai di Kemering
Iwa na nimbah timbah
Langgian jala jaring
Baka ninjuk mak susah
3. Rakyat di OKU Timur
Suku nan lamon nihhan
Tapi mak simpang siur
Sebiduk sehaluan
4. Purikah perabasa
Cingcingan jak lom hati
Mak emas kimak cawa
Mak inton kimak budi
5. Kintu di terak gawi
Kunyin na cirub ragom
Mawas manom herani
Mak mungkir atot seram
6. Rakyat di OKU Timur
Unyin mak pandai buya
Tiap rani bu sukur
Sembahyang mak mat lupa
7. Batu henni Kemering
Lamon liyu jak iwa
Belitang ngari rinjing
Baka nunggang mak buya
8. Kemering Jawa Bali
Sunda Ugan rik Padang
Mak ketinangan lagi
Kinjuk sanga kerumpang
9. Wat mulih rupa hibbah
Jak ninik muyang paija
Mak salah lahgu rebah
Mak bangsa cadang bakna
10. Rasa hurik mak numpang
Walau bubeda suku
Martapura Belitang
Nutuk Pak Herman Deru
Terjemahannya:
1. Kita perhatikan rakyatnya
Perempuan, lelaki tua dan muda
Kehidupannya penuh tekad,
Mencari rezeki agar sejahtera
2. Kita masuk wilayah Komering
Ikannya sangatlah banyak
Alat-alat perangkap, seperti sedok, jala, dan jaring
Untuk menangkap ikan telah siap
3. Rakyat di OKU Timur
Terdiri dari berbagai suku
Tapi rukun itu menjadi kunci dalam wadah
Sebiduk satu tujuan
4. Berbicara dengan tata krama dan tutur sapa
Memang sudah lama tertanam di hati
Tutur sapa bernilai emas
Tata krama bernilai intan permata
5. Kalau mengerjakan pekerjaan
Semuannya gotong royong dengan tulus
Siang malam pekerjaan itu
Tiada mundur setapak pun
6. Rakyat di OKU Timur
Tiada pernah merasa lelah
Tiap hari selalu bersyukur
Kerjakan sembahyang tiada lupa
7. Batu koral pasir Komering
Sangat banyak sekali
Daerah Belitang yang membuatkan bakul untuk mengambilnya
Agar pekerjaan itu tiada mengalami kesusahan
8. Komering, Jawa, dan Bali
Sunda, Ogan, dan Padang
Tiada tercecer lagi
Satu kesatuan yang utuh
9. Ada sebuah hibah
Dari nenek moyang dahulu kala
Semakin berisi semakin merendah
Tidak akan mengurangi harga diri
10. Merasa kehidupan ini tenang
Walau berbeda suku
Martapura Belitang
Ikut Pak Herman Deru


Semoga kesenian Hiring-hiring tidak akan punah dan lestari selalu

Wallahua'alam bissowab..


diambil dari: http://kampoengilir.blogspot.com/2008/10/hiring-hiring-akankah-tinggal-cerita.html

NAMA NAMA PUYANG DI KOMERING


berikut Nama nama puyang di kawasan betung komering berdasarkan saduran dari Lempuing blogger : kalau dalam bahasa komring nya MUYANG, di dapat dari desa BETUNG kecamatan SEMENDAWAI BARAT kabupaten OKUT yang terletak di Pesisir Sungai Komering. mungkin dalam penulisan nama muyang/puyang di bawah ini ada kesalahan maaf yang sebesar besar nya kepada masyarakat betung, dikarena tulisan pada tugu tersebut sebagian terhapus/memudar sehingga tidak jelas lagi untuk di baca.
Artikel ini ditulis hanya untuk mengingat kan kita pada cikal bakal dan  puyang komring betung.

BERIKUT NAMA-NAMA MUYANG DI KAWASAN DESA BETUNG

A. MUYANG MORBAU
      1. TUAN PURBA
      2. KI ALAM BESAR
      3. TUAN SAI  LILLAH
      4. TUAN ROBBIKUM
      5. TUAN TANDO SAKTI

B. MUYANG LIBU

      1. H.DAUD WALI
      2. KAY SEH
      3. KAY JIMAT
      4. KAY GURU
      5. KAY DATUK
      6. KAY MURAH
      7. TUAN JUNJUNGAN SAKTI
      8. TANDO WALI JANGAN MATO
      9. H.KHOTIB TUHA
      10. H.HUSIN PARDIDI
      11. H.KHOTIB NAWAWI
      12. H.SAID
      13. H.RADEN AJI
      14. H.KHOTIB ARIF
      15. ISTRI H.KHOTIB ARIF
      16. KI ALAM KECIL

C. MUYANG HULU TIUH

      1. TUAN PENGHULU
      2. MANGKU YUDA
      3. ABDUL MALIK GELAR MASPURBA
      4. ABDULLAH GELAR RADEN BEBAS
      5. TUAN TAMBIKUR
      6. JAGO DAWONGSO
      7. AGUNG RODI
      8. TANDO WALI TUHA
      9. TUAN RAJA BENAR
      10. MUYANG PUTIH
      11. MAULANA SAKTI
      12. H.M.SOLEH
      13. EKA GURU
      14. MARBIAH BULAN (P)
      15. PARRULLAH
      16. MANGKODUM SAKTI
      17. TUAN MULA JADI
      18. TUAN MULA DI ARAB
      19. DEPATI SURAU MENGGALA
      20. TUAN SALAKA
      21. MINAK SEGARA WANI
      22. KERIA MONANG BUTANDING
      23. BATIN PULUN
      24. RAJA PAYUNG BUMI
      25. NAGA BARISANG
      26. LIWAT PANIMBAMG
      27. KERIYA LUMBA
      28. RAJA PANGULIHAN
      29. TUAN ULUNG
      30. INDAH KUMALA
      31. H.ADAM


nama diatas puyang komering betung yang di makam kan di desa betung dan ada diantara nya puhyang komering betung yang di makam kan di tempat lain diantara nya:
1.TUAN RIZAL dimakam kan di LEMATANG
2.PUTRI KEMBANG DADAR dimakam kan di BUKIT SIGUNTANG.
dan mungkin masih ada lagi puyang/muyang yang di makam kan di tempat lain. 
semoga semua Puyang puyang Senantiasa diRahmati Alloh Swt Amiiin..

Tabik pun....